SORE ITU seperti hari-hari lainnya. Dua kali dalam sepekan saya bertemu dengan anak unik yang kala itu duduk di bangku kelas 5 SD. Namanya Ferdy, salah satu murid saya dalam kelas kursus bahasa Inggris 17 tahun silam. Saya sebut unik karena penampilannya lebih rapi dibanding teman-teman sekelas dan ia kerap melakukan senandika seolah punya dunia lain yang mengasyikkan.
Uniknya, kebiasaan yang terlihat aneh di mata teman-teman sekelasnya itu sama sekali tak memengaruhi pemahamannya tentang materi bahasa Inggris. Bahkan sejujurnya, Ferdy menunjukkan keunggulan dibandingkan teman-teman lain yang sudah SMP. Dia istimewa dengan caranya sendiri.
Belakangan saya ketahui bahwa Ferdy ternyata anak penyandang autisme sehingga ia tampil berbeda daripada teman-teman lainnya. Pada kasus Ferdy, sebagaimana pernah saya baca di sebuah sumber, ia sepertinya mengalami hyperlexia yakni kemampuan membaca luar biasa pada anak usia dini padahal ia boleh jadi belum punya kemampuan berbahasa dan berbicara yang sesuai usianya. Tak heran jika kecakapan berbahasa asing (Inggris) begitu mumpuni.
Selama proses pembelajaran, teman-teman Ferdy tak jarang memandangnya dengan tatapan aneh lantaran tidak paham. Kendati tak sampai berupa olok-olokan, respons yang mereka berikan cenderung negatif yang sebisa mungkin saya tepis dengan anjuran dan pesan untuk menjaga sikap dan perkataan mereka terhadap Ferdy yang berbeda.
Memahami autisme dengan optimisme
Berbeda, itulah kata kuncinya. Selama ini anak-anak dengan autisme kerap disalahartikan sebagai anak aneh dan bahkan idiot. Perbedaan perilaku yang mereka tunjukkan—atau kadang ucapan yang sama berulang-ulang—sering kali memicu orang awam untuk menyimpulkan atau menghakimi bahwa perbedaan itu adalah kelainan yang layak dicurigai sehingga anak autis mesti dijauhi.
Kesalahpahaman inilah yang ingin dikoreksi oleh Teman Autis, komunitas yang dibentuk sebagai jembatan penyalur informasi terintegrasi tepercaya seputar autisme. Lewat Teman Autis, Ratih Hadiwinoto selaku founder dan Alvinia Christiany sebagai co-founder berharap agar kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai autisme dapat dibangkitkan dan ditingkatkan.

Dibentuk pada tahun 2017 dengan nama Light It Up Project, Teman Autis kini memiliki sebuah portal khusus temanautis.com, yakni website terintegrasi yang memasok berbagai informasi mengenai autisme.
Website ini dibuat dengan tampilan sederhana dan bersih dengan tujuan memudahkan masyarakat di seluruh penjuru Indonesia (terutama keluarga yang memiliki anggota dengan diagnosis autisme) untuk mendapatkan informasi valid dan tepercaya mengenai autisme tanpa harus bertatap muka, pun lebih hemat biaya.
Kehadiran website ini sangat penting sebab mempertemukan klinik atau fasilitas penunjang yang dibutuhkan oleh penyandang autisme tanpa mencemaskan jarak, ruang, dan waktu. Karena berbentuk online, portal Teman Autis bisa mengakses kapan saja dan di mana saja tanpa harus datang ke Jakarta.
Saat masih menyandang nama Light It Up Project, Ratih dan Alvinia bersama relawan lainnya telah menggelar dua event berkaitan dengan kampanye autisme. Acara pertama bertajuk Light it Up Fun Walk dihelat tanggal 30 Juli 2017 di kawasan Car Free Day Sudirman. Fun Walk ini diramaikan oleh anak-anak penyandang autisme beserta orangtua atau pendamping.

Dalam kesempatan tersebut, tim Light It Up Project juga membagikan brosur berisi informasi mengenai autisme sebagai kampanye positif agar publik menumbuhkan kesadaran dalam memahami autisme dan penyandangnya secara tepat dan proporsional. Dalam sebuah poster yang dibawa oleh relawan disebutkan bahwa:
Autism is not a disability, it’s a different ability.
Kalimat pendek ini menegaskan bahwa setiap anak dengan autisme tidak layak diremehkan apalagi dirundung, bahkan sekadar disebut disabled. Sebagaimana yang terjadi pada Ferdy murid saya,anak-anak autis malah memiliki keunggulan tersendiri yang khas dibanding anak-anak lain. Di sinilah pentingnya memahami autisme dengan optimisme, bahwa mereka punya potensi dan bahwa menerima mereka merupakan wujud penerapan Hak Asasi Manusia yang sama-sama bisa memberikan andil bagi masyarakat.
Penyandang autisme bisa berdaya
Sebagai tindak lanjut kegiatan pertama, Light it Up Gathering pun digelar pada 10 Maret 2018 di Jakarta Selatan. Dalam gathering ini diadakan seminar mengenai Autisme 101. Semula seminar hanya diperuntukkan bagi para relawan, tapi karena animo masyarakat yang sangat besar maka acara tersebut boleh diikuti oleh peserta umum.

Kesuksesan penyelenggaraan dua acara tersebut membuat Ratih dan tim memutuskan untuk melanjutkan Light it Up Project agar kontribusi yang nyata bisa lebih banyak diberikan kepada masyarakat. Perumusan ulang inilah yang melahirkan Teman Autis, lengkap dengan visi, misi, dan kontribusi yang lebih jelas bagi masyarakat luas.
Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa autisme bukanlah disabilitas mental, melainkan disabilitas perkembangan. Autisme berbeda dengan skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, atau gangguan kepribadian. Hal ini tercantum dalam Pasal 4 ayat 1 huruf (c) UU Penyandang Disabilitas sebagai pedoman kita untuk bersikap dan merespons penyandang autisme.
Kita tak bisa menafikan bahwa anak dengan autisme pun bisa berkarya dan sukses dalam hidup. Mereka punya energi kehidupan dan bisa maju dengan cara dan potensinya masing-masing. Sebut saja Susan Boyle sebagai salah satu contoh. Penyanyi asal Skotlandia ini melesat setelah tampil sebagai kontestan menyanyikan lagu I Dreamed a Dream dalam British Got Talent.

Kendati tidak keluar sebagai juara pertama, Susan kemudian berjaya di banyak penghargaan juga meraup kesuksesan secara ekonomi. Dari belasan penghargaan yang ia ikuti, setidaknya tujuh ia menangkan. Uniknya, Susan ternyata menderita sindrom Asperger, salah satu spektrum autisme dengan IQ tinggi tetapi secara sosial mengalami kesulitan. Saat kecil, ia sempat mendapat diagnosis yang salah yakni kerusakan otak, padahal sesungguhnya autisme.
Contoh lain bahwa penyandang autisme bisa hidup berdaya adalah Stephen Wiltshire. Kisah Stephen saya dapatkan setelah membaca buku berjudul An Anthropologist on Mars. Buku yang ditulis Oliver Sacks, profesor neurologi dan penulis buku laris, ini mengangkat orang-orang dengan karya hebat walaupun memiliki masalah neurologis—salah satunya Stephen Wiltshire.
Stephen disebutkan mampu menggambar bangunan dengan sangat detail bahkan ketika dia hanya melihat bangunan itu sekali saja. Dia bisa menghasilkan gambar yang rinci hanya dengan mengandalkan memori. Selain itu, dia juga memiliki ingatan yang kuat terhadap lagu yang didiengarkan yang bisa dengan mudah ia ulang dengan akurasi tinggi.

Berkat kemampuan ini, Stephen bisa mengunjungi kota-kota penting di dunia antara lain Roma, Hong Kong, Frankfurt, Madrid, Dubai, Tokyo hingga New York. Sejak saat itu, Stephen Wiltshire kerap menjadi obyek dalam film dokumenter, salah satunya Billions of Windows yang diputar di London pada 13 November 2019.
Teman Autis, energi persahabatan yang menginspirasi
Dalam konteks ini, apa yang dilakukan oleh Alvinia Christiany bersama Teman Autis sungguh layak diapresiasi sebab mereka ingin agar peyandang autisme, baik anak-anak maupun dewasa, memiliki kesempatan bertumbuh dan maju bersama sebagai bagian dari masyarakat. Sebagaimana bunyi salah satu poster dalam City Walk mereka, “Autism Acceptance = Human Rights”, yang menyiratkan betapa menolak anak-anak dengan autisme berarti sebuah pelanggaran hak asasi manusia.
Langkah kecil yang dilakukan Alvinia dengan menghimpun informasi apa saja yang dibutuhkan oleh keluarga dengan anak autis, terutama klinik yang relevan, adalah sebuah semangat yang bisa menggerakkan kemajuan Indonesia lewat keberagaman oleh anak muda sebagai ikhtiar untuk membangun bangsa dengan cara berbagi manfaat bagi masyarakat sesuai kemampuan atau kompetensi, dan terutama berbasis kepedulian.

Tak heran jika Alvinia kemudian dipilih oleh Astra menjadi satu dari 6 pemenang Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2022. Ini adalah apresiasi yang perlu ditiru perusahaan lain guna mendorong agar anak bangsa memberdayakan potensi mereka demi menciptakan manfaat yang bisa dinikmati secara luas, baik secara langsung maupun jangka panjang.
Teman Autis adalah energi persahabatan, untuk melecut langkah kita agar tetap optimistis dan bisa bangkit bersama walau pandemi pernah mendera dan mungkin resesi ekonomi akan terjadi. Dari frasa yang dipilih, Teman Autis seolah menyarankan agar kita semua memutuskan menjadi teman yang menguatkan, bukan lawan yanag saling menghancurkan. Hanya dengan menjadi temanlah kita bisa berjalan beriringan dan mengukir banyak kesuksesan.