Selimut Polusi di Ranjang Kematian: Kerusakan Ekologi yang Mengancam Masa Depan

Gadis kecil itu terlihat tersengal-sengal menahan napas yang menderu. Alat bantu pernapasan yang dipasang di hidungnya sedikit meringankan meski kondisi normal tak mungkin ia dapatkan. Sejak didiagnosis menderita asma pada usia 7 tahun, setidaknya sudah 30 kali dia keluar masuk IGD rumah sakit di Inggris. Namanya Ella Roberta Adoo Kissi Debrah, dan dia menjadi orang pertama di dunia yang pada surat kematiannya tercantum polusi udara sebagai penyebab kematian.

Tiga bulan sebelum ultah ke-7, Ella mengalami infeksi dada yang kemudian berubah menjadi batuk tak berkesudahan. Kendati batuk rejan mendera, dokter mendiagnosisnya dengan asma. Sang ibu, Rosamund Adoo Kissi Debrah, semula tidak mencemaskan kondisi Ella sebab data di Inggris menunjukkan bahwa 5,4 juta orang di negara itu menderita asma dan 1,1 juta di antaranya adalah anak-anak.

Pingsan dan meninggal akibat polusi

Namun sejak diagnosis asma diberikan, Ella malah batuk terus-menerus bahkan sampai pingsan. Hilangnya kesadaran ini akibat kurangnya pasokan oksigen ke otak. Setelah siuman, ia langsung dilarikan ke rumah sakit dan diperbolehkan pulang esok harinya. Namun, seminggu kemudian kejadian itu berulang. Kali ini ia sampai menderita koma dan terbangun tiga hari kemudian. Bisa dibayangkan perubahan dirinya dari gadis ceria yang sehat kini menjadi penyandang disabilitas akibat asma.

Pada tanggal 15 Februari 2013, Ella akhirnya mengembuskan napas terakhirnya hanya tiga minggu berselang setelah ulang tahunnya yang ke-9. Semula di surat kematiannya disebutkan bahwa ia meninggal karena gagal napas akut. Padahal sangat mungkin polusi adalah pemicu munculnya asma tersebut.

Kasus Ella berhasil membetot perhatian dunia tentang isu polusi udara.

Setahun kemudian Rosamund pun mendirikan Yayasan Ella Roberta dan mengajukan peninjauan kembali kepada Pengadilan Tinggi setempat untuk mengetahui penyebab kematian anaknya. Setelah diselidiki, jalanan dekat mereka tinggal memang sangat padat dan ternyata dipenuhi kandungan nitrogen dioksida akibat lalu-lalang kendaraan dengan level polusi melebihi ambang menurut pedoman WHO.

Profesor Sir Stephen Holgate, konsultan dokter pernapasan di University of Southampton mengamini temuan ini. Adapun petugas koroner negara, Philip Barlow, menyimpulkan setelah melakukan pemeriksaan selama sembilan hari bahwa polusi udara telah menjadi faktor signifikan baik memicu munculnya asma maupun memperparah asma tersebut.

Selimut polusi di ranjang kematian

Kasus Ella mungkin hanya fenomena gunung es sebab di Amerika Serikat data tentang polusi juga mengkhawatirkan. Dalam sebuah presentasi TED Talks tahun 2016, David Klanecky seorang chemical engineer menyatakan bahwa ada 32,000 orang meninggal setiap tahun karena kecelakaan lalu lintas. Yang lebih mencengangkan adalah ternyata setidaknya 70,000 orang meninggal akibat polusi udara setiap tahun—melebihi kasus kematian per tahun karena kanker payudara dan prostat.

Bagaimana dengan negara kita? Riset yang dirilis Global Alliance On Health And Pollution (GAHP) menyatakan bahwa polusi di Indonesia telah memakan 232.900 jiwa pada 2017. Khusus untuk polusi udara, angkanya cukup besar yakni 123.700 kematian pada tahun yang sama berdasarkan riset tersebut.

Dua tahun berselang, yakni tahun 2019, jumlah kematian akibat polusi udara ternyata meningkat cukup drastis, menjadi 186.300 jiwa berdasarkan data yang dikeluarkan Statista. Fakta ini menjadikan negara kita berada di peringkat kelima di dunia setelah Cina, India, Pakistan, dan Nigeria. Angka peningkatan diperkirakan lebih mengerikan seiring waktu berjalan jika tak ada upaya serius untuk menangani polusi.

Data tentang kematian akibat polusi udara di dunia (sumber: statista.com)

Polusi udara memang salah satu ancaman besar bagi kesehatan manusia karena setiap hari kita terpapar dengan atau tanpa sadar. Pada tahun 2016, WHO memperkirakan bahwa berbagai bentuk polusi telah merenggut 7 juta jiwa di seluruh dunia, baik di desa maupun kota. Yang membuat miris, 4,2 juta di antaranya disebabkan oleh polusi udara outdoor dan 3.8 juta akibat polusi udara indoor.

Menurut penilaian International Agency for Research on Cancer (IARC), lembaga yang dibawahi WHO, tahun 2013 polusi udara luar ruangan ternyata bersifat karsinogen bagi manusia, dengan kandungan komponen particulate matter (PM) yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker, terutama kanker paru-paru. Data yang sama juga menyimpulkan kaitan antara polusi udara dengan meningkatnya risiko terjadinya kanker saluran/kandung kemih.

Sebab menjadi isu internasional, maka kita tak mungkin mengatasi polusi sendirian. Tugas berat yang menantang ini harus diemban bersama-sama melalui #TeamUpForImpact untuk menciptakan dampak optimal di tataran global. Belum lagi jika kita menelisik parahnya polusi tanah dan air yang tak kalah berbahaya.

Polusi tanah, misalnya, relatif sulit dideteksi secara visual sehingga menjadi bahaya laten yang mengancam ekosistem secara keseluruhan dan masa depan manusia dari segi ketahanan pangan. Secara kasat mata, tanah mungkin baik-baik saja padahal sesungguhnya menyimpan racun mengerikan. Kita tentu masih ingat meledaknya salah satu reaktor nuklir Chernobyl tahun 1986 yang menyebabkan rusaknya kesehatan dan polusi tanah akibat radioaktif yang mematikan. Belum lagi insiden bom atom di Nagasaki dan Hiroshima yang tak mungkin kita lupakan.

Air yang tercemar menjadi ancaman kesehatan yang berbahaya. (Foto: dok. pribadi)

Begitu juga dengan polusi air yang sudah menjadi rahasia umum. Di mana-mana di negara kita sudah lazim kita temukan sungai tercemar akibat limbah rumah tangga maupun timbunan sampah yang dihempas begitu saja. Selain banjir yang bisa datang kapan saja, air yang tercemar akan menjadi sarang penyakit yang sekali lagi mengancam keberlangsungan manusia. Bukan cuma bau busuk, musibah banjir dan penyakit akan menyumbat kreativitas dan menghambat produktivitas dalam bekerja.

Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, berbagai bentuk polusi ini akan menyebar dan berkelindan ibarat selimut yang mencekik kita di ranjang kematian. Bumi tempat kita berdiam bisa beralih menjadi ranjang maut akibat #SelimutPolusi yang memicu perubahan iklim dan mengancam masa depan kita sebagai umat manusia yang sangat bergantung pada alam.

Memahami penyebab polusi

Tak bisa dimungkiri, selimut polusi membuat bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim. Kita mungkin tak bisa meniadakan polusi sama sekali, tetapi setidaknya dapat menguranginya hingga tingkat yang bisa dikompromi berdasarkan standar WHO atau agency terkait. Kita tak bisa tinggal diam, hanya menanti kehancuran Bumi karena kepungan polusi yang terjalin menjadi selimut mematikan.

Saat ini kita berada pada fase yang serbasulit, baik secara ekonomi maupun kesehatan. Bukan hanya bersifat nasional, tapi berskala internasional. Penggunaan bahan bakar fosil untuk mendapatkan listrik, mengoperasikan kendaraan, dan memudahkan kehidupan kita ternyata melepaskan karbondioksida dan gas berbahaya lain ke atmosfer. Pemanasan global jadi tak terelakkan dan perubahan iklim jadi isu yang tidak main-main.

Seperti yang disinggung David Klanecky dalam presentasinya, kendaraan yang kita andalkan sebagai moda transportasi rupanya menghadirkan masalah berupa polusi, yang ternyata sangat berbahaya. Maka penting untuk memahami faktor-faktor penyebab polusi secara umum. Uniknya, para ilmuwan menggunakan kata anthropogenic untuk menggambarkan aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan pada keseimbangan ekologi, termasuk perubahan iklim.

Faktor utama adalah kegiatan industri yang melepaskan polutan ke udara, air, dan tanah. Polutan-polutan berbentuk gas dan radionuklida itu dihempaskan ke atmosfer dan bisa langsung meresap ke tanah melalui hujan asam. Pekatnya asap pabrik di berbagai kota besar adalah bukti yang kerap kita saksikan.

Asap pabrik dari aktivitas industri jadi ancaman tak kentara. (Foto: forbes.com)

Lalu ada pertambangan yang tak kalah besar dampaknya terhadap degradasi lingkungan. Itulah sebabnya Samsul Arifin asal Desa Sumberagung Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro menggagas penanaman pohon trembesi untuk memulihkan sumber air yang sempat hilang dan kejernihan udara akibat aktivitas penambangan migas secara masif yang berlangsung di Bojonegoro sejak tahun 2000-an. Penambangan itu seolah menyedot sumber air hingga mengering dan menyerap suplai oksigen, hanya menyisakan udara gerah dan kotor.

Aktivitas lain manusia yang menyumbang polusi adalah sistem transportasi dan infrastruktur perkotaan. Banyaknya pembangunan infrastruktur seperti kompleks perumahan, jalan, dan rel kereta api tak pelak ikut memberikan andil dalam penurunan kualitas lingkungan. Dalam konteks transportasi, selain suara dan udara, ada pula polusi tanah akibat bensin bertimbal.

Hal ini diperparah dengan manajemen sampah yang belum baik. Padahal seiring peningkatan jumlah penduduk, timbunan sampah jadi ikut memuncak. Mismanajemen limbah padat dari aktivitas manusia, perilaku pemulung, dan sistem pembuangan sampah membuat polusi tak bisa dihindari karena mindset yang terbangun baru sebatas “memindahkan” sampah dari satu TPA ke TPA lain yang lebih besar. Hal ini berpotensi memunculkan bakteri-bakteri berbahaya di area TPA selain tentu saja bau busuk yang meracuni udara dan potensi ledakan. Jika berdekatan dengan perairan, maka air akan terkontaminasi dan dengan mudah menularkan parasit dan bakteri kepada manusia.

Tumpukan sampah plastik awet dan merusak ekosistem. (Foto: waste4change.com)

Apalagi jika sampah plastik yang menumpuk karena memang susah diurai. Hingga kini plastik masih menjadi salah satu sumber polusi utama. Setiap hari plastik dipakai untuk mengemas makanan, tas belanja, dan peralatan rumah tangga mulai dari sikat gigi, pembersih wajah, dan masih banyak lagi. Dengan tren produk perawatan kulit yang semakin populer, bisa dibayangkan betapa banyak plastik yang digunakan padahal bahan ini ajek ada di alam, terakumulasi di TPA dan bahkan hingga lautan.

Terakhir, yang tak kalah mengkhawatirkan sebagai pemicu polusi adalah peperangan. Menurut laporan Intergovernmental Technical Panel on Soils (ITPS) tahun 2015, perang di zaman modern ternyata menggunakan senjata pemusnah dari bahan yang tidak mudah diurai dan zat-zat kimia yang bisa terus menetap dalam tanah tempat perang hingga berabad-abad lamanya. Bahkan ketika tak ada perang pun, tanah tetap terkontaminasi akibat pembangunan pusat-pusat uji tembak. Bayangkan betapa mengerikannya tanah-tanah di Rusia-Ukraina bahkan ketika nanti konflik sudah usai.

Skenario terburuk: jika ada aktivitas industri yang memproses zat hasil tambang untuk dibuat menjadi senjata modern sebagai modal peperangan. Ketika senjata selesai dibuat, pengiriman dilakukan dengan kendaraan darat yang sangat banyak dan berat, melewati jalan-jalan dalam jarak yang jauh. Pada senjata itu terdapat komponen yang dibuat dari plastik yang sebagian juga menyisakan limbah.

Perubahan iklim tidak main-main

Melihat faktor-faktor penyebab polusi itu, kita hanya bisa menanti perubahan iklim memberangus manusia atau kita melakukan sesuatu untuk menghindarinya. Menurut PBB, dampak paling nyata perubahan iklim adalah meningkatnya suhu bumi akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca. Pemanasan secara global ini akan memicu terjadinya kekeringan dan akhirnya kelangkaan pangan akibat gagal panen.

Banyaknya dampak negatif perubahan iklim (Sumber: metoffice.gov.uk)

Selain itu, kebakaran hutan dan lahan jadi rentan. Kabut asap yang mengepul niscaya akan mengancam kesehatan bahkan jiwa manusia. Suhu bumi yang panas juga akan kondusif bagi munculnya penyakit-penyakit yang ditularkan lewat air dan penyakit-penyakit menular lainnya.

Kelangkaan air adalah dampak berikutnya dari perubahan iklim. Sejumlah daerah bisa terpengaruh dengan ketiadaan air yang tentu merepotkan pemenuhan berbagai kebutuhan. Di sisi lain, saat musim penghujan banjir bisa datang tanpa terkendali di tempat yang sama. Musim menjadi kacau, labil, dan merugikan secara ekonomi.

Yang tak boleh dilupakan adalah punahnya satwa tertentu karena tak tahan perubahan iklim. Kelestarian spesies di darat atau lautan menentukan keberlangsungan manusia sebab mereka bisa saja jadi salah satu sumber pangan. Hewan yang tahan dan berpindah boleh jadi malah membawa penyakit berbahaya bagi kita seperti halnya Covid-19.

Penyebaran penyakit berbahaya akan melumpuhkan manusia, baik secara sosial dan ekonomi. Krisis energi pun bisa terjadi akibat serangan wabah. Walhasil, kemiskinan dan eksodus tak bisa dihindari. Banjir terjadi tanpa pola, menghancurkan rumah dan ternak. Panas ekstrem membuat orang mustahil bekerja di luar sehingga akhirnya menganggur karena tak layak bekerja di dalam ruangan. Setidaknya selama sepuluh tahun terakhir (2010–2019), diperkirakan sebanyak 23,1 juta orang setiap tahun menjadi kian rentan terhadap kemiskinan. Lalu terbentuklah lingkaran setan sebab kemiskinan membuat sulitnya pemenuhan kesehatan dan kebutuhan dasar yang layak.

Melirik hutan sebagai andalan

Nah, kabar baiknya kita punya hutan sebagai solusi untuk mengatasi polusi dan dampak perubahan iklim yang mengerikan. Jika hutan terawat baik, maka pohon-pohon di dalamnya akan menyerap kabon dioksida dari udara, menyimpan karbon di batang dan tanah, lalu melepaskan oksigen untuk kita nikmati. Tentang manfaat hutan, kita bisa tonton video berikut.

Yang jelas, hutan membantu kita menangkal polusi udara. Pohon-pohon yang tumbuh subur dan kokoh juga akan menyimpan cadangan air dan mengurangi erosi tanah. Selain wahana wisata, hutan juga menjadi salah satu pemasok pangan alternatif kita agar tak mengandalkan beras saja. Dengan demikian, hutan juga punya andil secara ekonomi bagi manusia bahkan konservasi energi.

#MudaMudiBumi perlu belajar dari masyarakat adat

Generasi muda, baik millenial maupun gen Z, wajib sadar diri untuk mau berkolaborasi demi mengatasi perubahan iklim yang semakin serius dan menjadi-jadi. Selain memanfaatkan media sosial, anak-anak muda bisa bekerja sama dengan masyarakat adat untuk menimba pengetahuan dan pengalaman dalam menghadapi isu ketahanan pangan dan tantangan global mengenai perubahan iklim.

Dari masyarakat adat kita belajar tentang pelestarian sumber daya alam, menanam secara berkelanjutan, dan hidup harmonis bersama alam. Keterampilan dan pengetahuan mereka adalah warisan berharga yang bisa kita andalkan untuk menghadapi perubahan iklim yang berdampak pada masa depan pertanian dan produksi pangan. 

1. Praktik pertanian yang tahan perubahan iklim

Model persawahan terasering telah teruji waktu sebagai teknik yang mampu menghentikan erosi tanah. Ini artinya masyarakat terdahulu telah menyadari bahwa teknik seperti itu tepat untuk menghadpi cuaca dan suhu yang berubah-ubah akibat pengaruh iklim.

2. Konservasi/restorasi hutan dan sumber daya alam

Anak muda bisa belajar dari masyarakat adat yang memandang alam terhubung dengan diri mereka sekaligus menjadi bagian di dalam sistem ekologi yang ditinggali. Dengan pemikiran demikian, mereka pun menjaga kekayaan hayati di sekitar dengan penghormatan dan rasa syukur. Konservasi atas hutan dan sungai dengan cinta kasih, misalnya, dengan sendirinya berarti merawat diri mereka sendiri.

3. Keragaman pangan

Kita yang mengaku modern mungkin malah mengonsumsi makanan yang tak sehat meskipun kita klaim beragam bentuknya. Makanan yang diproses ini mungkin lezat tapi cenderung menggerogoti kesehatan. Dari masyarakat adat kita bisa petik pelajaran tentang diversifikasi pangan yang menginspirasi kita untuk tidak mengoptimalkan satu pilihan saja.

4. Tidak serakah

Masyarakat adat tidak serakah dalam menikmati alam. Mereka mengambil sesuai kebutuhan, bukan berdasar keinginan yang mungkin manipulatif. Ingat tidak film laris berjudul Avatar yang menceritakan usaha pengusiran suku asli karena manusia modern sebagai pendatang ingin menguasai sumber energi di dalam hutan?

Masyarakat adat telah mengembangkan gaya hidup yang sesuai dengan ciri dan penghormatan pada alam. Mereka memanfaatkan, bukan menghabiskan. Menikmati, bukan menguasai. Itulah yang mestinya kita pahami dan resapi sebagai bagian pemikiran berkesinambungan dalam berbagai praktik hidup menyangkut perubahan iklim saat ini.

Kesimpulan: kita memang harus belajar

Akhirnya kita memang mesti bersedia belajar terus-menerus. Dari kasus Ella Roberta, kita belajar tentang bahaya polusi dan pentingnya bersuara untuk menemukan fakta yang akan sangat berguna. Dari David kita merenung tentang ambivalensi produk budaya modern yang menghadirkan konsekuensi yang tak selalau mudah. Selalu ada dampak, dan kita mesti berkompromi untuk memilih yang paling masuk akal tapi tidak merugikan alam.

Kita harus membuka diri dan pikiran untuk menerima masukan, menempa ketahanan akibat musibah atau bencana berupa apa pun yang sebenarnya kita sebabkan sendiri. Bagaimana pun kitalah yang menyebabkan polusi, maka kita perlu berkomitmen dan berkolaborasi untuk menghajar selimut polusi agar tidak menjadi momok yang mengancam negeri.

Bahan Bacaan:

  

10 thoughts on “Selimut Polusi di Ranjang Kematian: Kerusakan Ekologi yang Mengancam Masa Depan

  1. Polusi jadi momok dinegara berkembang dan maju. Masyarakat kudu berbperan dalam membanti menurunkan emisi gas buang dan efek rumah kaca. Banyak hal sederhana yang bisa dilakukan mulai dari makan makanan lokal dan diet kantong plastik serta hemat energi

    Like

  2. Mengerikan betul ya dampak dari polusi udara itu. Bisa membunuh generasi lho itu. Sereem.

    Like

  3. Huhu.. miris sekali baca berita Ella, padahal di luar negeri ya. Aku kira, kalau dinegara maju itu bisa lebih baik penanganan tentang polusinya.

    Dan demi apa, Indonesia malah ada di posisi kelima?! Udah saatnya, selain kesadaran dalam diri, kita juga harus beraksi untuk bisa jaga bumi.

    Like

  4. Ngeri banget yaa mbak dampak dari polusi ini, apalagi sampai megancam kehidupan. Padahal sudah banyak pelajaran, tapi masih ada aja yang gak sadar. Yaudah kita mulai dari diri sendiri, dan sekitar kita yaaa, berharap hal kecil ini juga akan berdampak besar.

    Like

  5. Manajemen sampah perlu banget dirapikan ya, kita harus menjaga bumi kalau bukan kita siapa lagi? Aku juga mengajarkan ke anak-anak agar tidak buang sampah sembarangan.

    Like

  6. Dampak nyata dari selimut polusi bahkan sudah terjadi bertahun-tahun lamanya, semoga kita bisa belajar dari kasus Ella dan mau sedikit berusaha membantu mengurangi dampak polusi dengan mengubah gaya hidup agar lebih ramah lingkungan.

    Like

  7. Sedih banget dengan kisah Ella ini ya, semoga saja selimut polisi bisa segera terkikis dan hilang. Untuk itu perlu belajar lebih banyak dan meningkatkan kesadaran untuk menjaga lingkungan dan Bumi ini.

    Liked by 1 person

  8. Sedih banget yak. Begitu bahayanya efek dari polusi. Tp kebayang sih gmn sesaknya penderita asma jika berada di daerah dg tingkat polusi udara yg tinggi. Jgnkan asma, penderita alergi aja, tersiksa bgt dg polusi

    Like

  9. cukup sedih kalo liat situasi di Indonesia, polusi sudah melebihi ambang batas, namun pemerintah jarang terlihat untuk mengatasi masalah tersebut. kita sebagai masyarakat biasa hanya bisa berharap semoga ada solusi kedepanya

    Like

Leave a comment